Kamis, 12 Maret 2009

Sejarah GKI JATENG

Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah (GKI Jateng) yang semula bernama Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH) lahir dari usaha pekabaran injil yang dilakukan baik atas inisiatif perseorangan maupun upaya badan zending. Dari nama awalnya, terlihat bahwa anggotanya memang berasal dari orang-orang Tiong Hoa peranakan. Sekalipun demikian, ada juga beberapa Jemaat Gereformeerd yang sejak semula memiliki anggota dari berbagai suku, seperti Jemaat Kwitang Jakarta dan Jemaat Taman Cibunut Bandung.

Perlu diperjelas bahwa terdapat perbedaan antara orang-orang Tiong Hoa peranakan (kiauw-seng) dan orang-orang Tiong Hoa totok (sin-khe). Kedua golongan ini bermigrasi dari Cina daratan secara sukarela dan banyak didorong oleh kekacauan yang terjadi di tanah air mereka karena penindasan rezim Manchuria. Pembedaan ini sebenarnya terjadi secara tipikal di Jawa; Tiong Hoa peranakan dikenakan pada mereka yang yang sudah membaur dengan wanita pribumi dan tidak bisa lagi berbahasa Cina, sehingga dalam pembicaraan sesehari mereka memakai bahasa Melayu rendah atau bahasa Jawa ngoko (kasar); sedang orang-orang Tiong Hoa yang totok masih fasih berbahasa Cina dan cenderung kawin dengan sesama orang Tiong Hoa. Pada masa pemerintahan kolonial, orang-orang Tiong Hoa peranakan ini diberi status "orang-orang asing" (vreemde oosterlingen), walaupun mereka sudah lama hidup bersama dengan golongan pribumi. Karena tidak diperkenankan membeli dan memiliki tanah, mereka justru mencari nafkah lewat perdagangan, sehingga pada akhirnya mereka hadir secara ekonomis sebagai kelas menengah. Golongan peranakan inilah yang akhirnya banyak menjadi anggota Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Jawa Tengah.

Berikut ini kilasan sejarah GKI Jateng yang terbagi dalam beberapa periode:

Periode I
(sebelum 1935)

Periode II
(1935-1945)

Periode III
(1945-1970)

Periode I: Sebelum Tahun 1935

Mulanya upaya penginjilan di Jawa Tengah dilakukan atas inisiatif perseorangan, seiring dengan kebijakan pemerintah kolonial pasca Perang Diponegoro yang menghendaki adanya stabilitas sosial-politik. Kebijakan ini baru diperlonggar pada awal abad ke-20.

Awal pekabaran injil di Jawa Tengah bagian Selatan dilakukan di Banyumas, di rumah Ny. Oostrom-Philips, pada tahun 1850. Pada saat yang hampir bersamaan, terdapat kegiatan pekabaran injil yang dilakukan oleh Ny. Philips-Stevens di Purworejo. Cara yang ditempuh kedua orang ini sama, yaitu mengadakan persekutuan doa bersama dengan para karyawannya. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang pribumi, meskipun ada pula beberapa orang Tiong Hoa peranakan juga yang ikut serta di dalamnya. Belakangan orang-orang pribumi hasil didikan kedua wanita ini menjadi pengikut Kiai Sadrach.

Orang-orang Tiong Hoa akhirnya diasuh oleh penginjil Paulus Khouw Tek San, yang dibaptis di Purbalingga oleh Pdt. Vermeer, seorang utusan Nederlandsche Gereformeerd Zendings Vereniging (NGZV), yang diperbolehkan bekerja di Tegal dan sekitarnya atas izin seorang residen, yaitu A.A.M.N. Keuchenius, yang menaruh minat pada usaha-usaha pekabaran injil. Paulus Khouw Tek San ini sendiri sebelum dibaptis oleh Pdt. Vermeer telah dididik dalam iman oleh Gan Kwe, seorang penginjil dari Amoy yang bekerja sama dengan Mr. Anthing melalui Perhimpunan untuk Pekabaran Indjil diluar dan didalam Geredja di Jakarta.

Di daerah Jawa tengah bagian Utara, pekabaran injil mula-mula dikerjakan di Salatiga oleh Ny. le-Jolle. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Zending Salatiga (semula berasal dari Jerman dengan nama De Ermelosche Zendingsgemeente) yang terbentuk pada tahun 1886, yang bekerja terutama di kota Semarang.

Selain itu, sejak abad ke-19, ini sudah berdiri juga sebuah Jemaat Gereformeerd di Kwitang Jakarta, yang beranggotakan baik orang-orang Belanda, Tiong Hoa maupun pribumi, yang pada awalnya muncul sebagai buah pekabaran injil zendeling Haan dari Christelijk Gereformeerde Kerken.

Setelah terjadi pergolakan dalam tubuh gereja di Belanda (1886) dan berdiri gereja-gereja Gereformeerd, maka pekabaran injil di Jawa Tengah bagian Selatan ini diserahterimakan dari NGZV kepada Gereja Gereformeerd. Hal ini sesuai dengan salah satu asas yang ditetap oleh sinode Gereja Gereformeerd bahwa yang melaksanakan pekabaran injil seharusnya adalah gereja dan bukan badan zending.

Hal yang menggembirakan terjadi ketika pada tahun 1925 dibuka Theologische School di Yogyakarta, yang kemudian hari menjadi STT Duta Wacana dan kini berkembang menjadi Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana. Sekolah teologi ini berhasil mendidik pemuda-pemuda Tiong Hoa maupun pribumi untuk menjadi pelayan Tuhan di kemudian hari.

Periode II: 1935-1945

Pada tahun 1935 Liem Siok Hie berhasil mendirikan gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH) d Semarang, yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan doa yang dipimpinnya. Beberapa THKTKH lain berdiri juga di Salatiga dan Blora, sehingga pada tahun 1936 ketiga Jemaat ini bergabung menjadi satu klasis, (Khu Hwee). Selain itu Jemaat-jemaat Tiong Hoa berbahasa Melayu muncul juga di daerah Surakarta, Magelang dan Yogyakarta dan pada tahun yang sama (1936) bergabung dalam klasis Yogya.

Perkembangan luar biasa terjadi ketika penginjil John Sung datang ke Jawa Tengah pada tahun 1939. Kebaktian Kebangunan Rohani yang diadakannya berhasil memikat ribuan orang Tiong Hoa. Kemajuan pesat ini disadari oleh Gereja Gereformeerd di Belanda, sehingga pada tahun 1940 mereka mengutus Pdt. A.F.J. Pieron untuk bekerja di tengah-tengah orang Tiong Hoa di Jawa Tengah.

Pada masa pendudukan Jepang, banyak kesulitan muncul. Hubungan dengan gereja di Belanda terputus, terutama menyangkut bantuan dana. Pada situasi sulit ini justru mengajar Jemaat-jemaat di Jawa Tengah untuk mandiri. Selain itu, semakin banyak pula pemuda-pemuda Kristen pada zaman ini yang kehilangan kesempatan untuk sekolah dan tertarik untuk aktif dalam pelayanan di Gereja.

Jadi, pada zaman jepang, sekalipun banyak kesulitan terjadi, gereja berkembang dengan pesat. Bahkan pada tanggal 8 Agustus 1945, terjadi persatuan gereja-gereja Tiong Hoa berbahasa Melayu dengan terbentuknya Sinode THKTKH pada persidangan I di Magelang. Sinode I ini merumuskan dasar-dasarnya sebagai berikut,

"... Synode mengalaskan pengakuan pertjaja atas Kitab Sutji, Perdjandjian Lama dan Baru sebagai Firman Allah dan 12 pengakuan kepertjajaan seturut keterangan Catechismus Heidelberg, sedang aturan geredja didasarkan atas bentuk pemerintahan geredja presbyteriaal" (Acta Synode I, artikel 9).

Periode III: 1945-1970

Pada masa ini usaha pekabaran injil tidak lagi dikerjakan oleh tenaga-tenaga asing. Jemaat-jemaat yang sudah dewasa banyak mendirikan pos-pos PI (Pekabaran Injil) di daerah yang dekat dengannya, yang pada akhirnya didewasakan juga sebagai Jemaat.

Pada tahun 1947-1948 terjadi agresi milter Belanda. Salah satu eksesnya adalah munculnya pergolakan sosial yang mengakibatkan orang-orang Tiong Hoa mengalami tekanan dan pendertitaan. Jemaat Grabag dan Jemaat Blabak, misalnya, dihancurkan oleh penduduk setempat dan hampir seluruh orang-orang Tiong Hoa di sana hijrah di kota-kota sekitarnya (Magelang, Temanggung dan lainnya).

Di pihak lain, pada periode ini banyak diupayakan juga "penemuan diri" Gereja dalam konteksnya di Indonesia. Hal ini tampak lewat beberapa peristiwa penting, seperti penggantian nama Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee menjadi Gereja-gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah (GKI Jateng) pada persidangan Sinode VI di Purwokerto pada tahun 1956, serta masuknya Jemaat Gereformeerd Kwitang Jakarta, Jemaat Gereformeerd Kalisari Semarang dan Jemaat Taman Cibunut Bandung, yang sejak semula banyak beranggotakan orang-orang pribumi, ke dalam Sinode. Selain itu terlihat pula adanya keterbukaan ekumenis dengan masuknya GKI Jateng dalam DGI (sekarang: PGI), WCC (World Council of Churches), EACC (East Asia Christian Conference, sekarang: CCA, Christian Conference of Asia), WARC (World Aliance of Reformed Church) dan REC (Reformed Ecumenical Council).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar